Dr. Sir Muhammad Iqbal. Ia adalah setitik zarah di lautan semesta yang jiwanya senantiasa dalam keadaan resah. Jutaan manusia pelbagai bangsa pernah turut menyaksikan keresahannya di dalam ribuan bait syair yang ia tulis.
Sosoknya memang fenomenal. Lebih dari siapa pun, Iqbal telah merekonstruksi sebuah bangunan filsafat Islam yang dapat menjadi bekal individu-individu Muslim dalam mengantisipasi peradaban Barat yang materialistik ataupun tradisi Timur yang fatalistik. Jika diterapkan maka konsep-konsep filosofis Iqbal akan memiliki implikasi-implikasi kemanusiaan dan sosial yang luas.
B. Pendidikan dan Karir Pekerjaannya
Ia lahir di sebuah kota bernama Sialkot, sebuah kota peninggalan Dinasti Mughal India pada tanggal 22 Februari 1873.
Ayahandanya Syaikh Nur Muhammad memiliki kedekatan dengan kalangan Sufi. Karena kesalehan dan kecerdasannya, penjahit yang cukup berhasil ini dikenal memiliki perasaan mistis yang dalam serta rasa keingintahuan ilmiah yang tinggi. Tak heran, jika Nur Muhammad dijuluki kawan-kawannya dengan sebutan "Sang Filosof tanpa guru" (un parh falsafi).
Ibunda Iqbal, Imam Bibi, juga dikenal sangat relegius. Ia membekali kelima anaknya, tiga putri dan dua putra, dengan pendidikan dasar dan disiplin keislaman yang kuat. Di bawah bimbingan kedua orangtuanya yang taat inilah Iqbal tumbuh dan dibesarkan. Kelak di kemudian hari, Iqbal sering berkata bahwa pandangan dunianya tidaklah dibangun melalui spekulasi filosofis, tetapi diwarisi dari kedua orangtuanya tersebut.
Pada tahun 1895 ia pergi ke Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan, pengetahuan dan seni. Di kota ini ia bergabung dengan perhimpunan sastrawan yang sering diundang musyara'ah, yakni pertemuan-pertemuan di mana para penyair membacakan sajak-sajaknya. Ini merupakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Di kota Lahore ini, sambil melanjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar filsafat di Government College. Pada tahun 1897 Iqbal memperoleh gelar B.A., kemudian ia mengambil program M.A. dalam bidang filsafat. Pada saat itulah ia bertemu dengan Sir Thomas Arnold—orientalis Inggris yang terkenal—yang mengajarkan filsafat Islam di College tersebut. Antara keduanya terjalin kedekatan melebihi hubungan guru dan murid, sebagaimana tertuang dalam sajaknya Bang-I Dara.
Dengan dorongan dan dukungan dari Arnold, Iqbal menjadi terkenal sebagai salah satu pengajar yang berbakat dan penyair di Lahore. Sajak-sajaknya banyak diminati orang. Pada tahun 1905, ia belajar di Cambridge pada R.A. Nicholson, seorang spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu Jhon M.E.McTaggart. Iqbal kemudian belajar di Heidilberg dan Munich. Di Munich ia menyelesaikan doktornya pada tahun 1908 dengan disertasi, The Development of Metaphysics in Persia.(disertasi ini kemudian diterbitkan di London dalam bentuk buku, dan dihadiahkan Iqbal kepada gurunya, Sir Thomas Arnold). Setelah mendapatkan gelar doktor, ia kembali ke London untuk belajar di bidang keadvokatan sambil mengajar bahasa dan kesusastraan Arab di Universitas London. Selama di Eropa Iqbal tidak pernah bosan menemui para ilmuwan untuk mengadakan berbagai perbincangan tentang persoalan-persoalan keilmuan dan kefilsafatan. Ia juga memperbincangkan Islam dan peradabannya. Di samping itu Iqbal memberikan ceramah dan berbagai kesempatan tentang Islam. Isi ceramahnya tersebut dipublikasikan dalam berbagai penerbitan surat kabar. Ternyata setelah menyaksikan langsung dan mengkaji kebudayaan Barat, ia tidak terpesona oleh gemerlapan dan daya pikat kebudayaan tersebut. Iqbal tetap concern pada budaya dan kepercayaannya.
C. Karya-karya Muhammad Iqbal
1. Asrar-i Khudi (Rahasia Pribadi), (1915)
2. Bang-i Dara (Seruan dari Perjalanan), (1924)
3. The Recunstruction of Relegious Thought in Islam, (1930)
4. Payam-i Masyriq (Pesan dari Timur), (1923)
5. dll.
D. Filosof-Filosof yang Mempengaruhi Iqbal
Iqbal adalah filosof Muslim yang banyak dipengaruhi oleh banyak filosof Barat seperti Thomas Aquinas, Bergson, Nietzsche, Hegel dan masih banyak lagi yang lainnya. Di antara sekian banyak filosof, menurut Donny Gahral, Nietzsche dan Bergsonlah yang paling banyak mempengaruhi Iqbal, oleh karena itu pemikiran kedua filosof ini akan dipaparkan sebagai berikut:
Nietzsche dan Bergson sangat mempengaruhi Iqbal khususnya konsepnya tentang hidup sebagai kehendak kreatif yang terus bergerak menuju realisasi. Manusia sebagai kehendak kreatif tidak bisa dibelenggu oleh hukum mekanis maupun takdir sebagai rencana Tuhan terhadap manusia yang ditetapkan sebelum penciptaan. Namun semangat relegius Iqbal menyelamatkannya dari sikap atheisme yang dianut Nitzsche sebagai konsekuensi kebebasan kreatif manusia. Iqbal masih mempertahankan Tuhan dan mengemukakan argumentasi yang bisa mendamaikan kemahakuasaan Tuhan dengan kebebasan manusia.
Iqbal juga menolak konsep Nitzsche maupun Bergson tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan. Iqbal mengatakan bagaimanapun orang sadar bahwa dalam kehendaknya ia memiliki tujuan karena kalau tidak buat apa ia berkehendak, namun Iqbal menolak tujuan sebagai tujuan yang bukan ditetapkan oleh manusia sendiri melainkan oleh takdir atau hukum evolusionistik.
c.1. Friedrich Nietzsche
Filsafat Nietzsche (1844-1900) adalah filsafat kehendak untuk penguasaan. Konsep Nietzsche tentang kehendak untuk penguasaan berkaitan erat dengan konsep lebenphi-losophie tentang hidup. Tradisi lebenphi-losophie memandang hidup bukan sebagai proses biologis, melainkan sebagai sesuatu yang mengalir, meretas, dan tidak tunduk pada apa pun yang mematikan gerak hidup. Nietzsche memandang hidup sebagai insting atas pertumbuhan, kekekalan dan pertambahan kuasa. Pendeknya, hidup menurut Nietzsche adalah kehendak untuk penguasaan.
Berdasarkan konsep hidup sebagai kehendak untuk penguasaan, Nietzsche secara revolusioner mendekonstruksi tiga warisan klasik yang menjadi pondasi dasar peradaban Barat: filsafat, moralitas, dan agama (Yudeo-Kristiani) yang dinilainya tidak mewadahi kehendak untuk penguasaan. Tiga serangkai yang membawa peradaban Barat menuju pada kehancuran bukan kemajuan. Ketiga warisan klasik peradaban Barat itu menurut Nietzche berlawanan dengan konsepnya tentang hidup.
Dengan nada ironis Iqbal pernah melukiskan Nietzsche sebagai jenius yang kesepian dan tersesat. Bahkan nyaris putus asa. Ia merindukan seseorang yang bisa ia patuhi untuk membimbing kekuatan-kekuatan batin dalam kehidupan ruhaninya. Nietzsche sesungguhnya sadar akan kebutuhan ruhaninya, tetapi ia telah gagal menumbuhkna sifat-sifat ketuhanan yang tak terbatas dalam dirinya. Kekuatan-kekuatan batinnya malah menjadi tidak produktif karena Nietzsche menciptakan solusi di luar kehidupan ruhaninya melalui gagasan-gagasan semacam radikalisme aristokrasi.
Iqbal memang terinspirasi Nietzsche, terutama dalam semangatnya. Hal ini tampak dari puisi lainnya tentang Nietzsche bahwa kita dapat meraih semangat yang positif dan harapan dari ketulushatiannya:
Jika kau nada lembut, jangan datang padanya
Gemuruh topannya adalah musik yang ditiup seruling penanya
Ia celupkan pisau bedah ke lubuk hati Barat
Tangannya berlumuran darah setelah membersihkan darah salib Kristus
Pada pembangunan Ka’bah, ia mendirikan rumah berhala sendiri
Hatinya adalah seorang mukmin, namun otaknya kafir
Pergilah dan bakar dirimu di api unggun raja Namrudz ini
Agar taman bunga Ibrahim berbunga dari api azar
c.2. Henry Bergson
Henry Bergson (1859-1941) merupakan tokoh yang bisa dibilang paling berpengaruh terhadap pemikiran Iqbal, khususnya tentang intuisi dan élan vital. Bergson mengemukakan adanya dua cara pengenalan yaitu analisis dan intuisi. Analisis adalah aktivitas intelektual yang mengenali objek dengan observasi bergerak mengitari objek atau dengan memisahkan bagian-bagian konstituen objek kajiannya. Analisis bekerja dengan simbol-simbol tersebut selalu berupa generalisasi abstrak yang melenyapkan keunikan individu
Intuisi, di lain pihak, menurut Bergson merupakan semacam rasio simpati yang mana subjek peneliti menempatkan dirinya dalam objeknya untuk menemukan apa yang unik dalamnya dan oleh karenanya tidak dapat diekspresikan. Berpikir secara intuitif adalah berpikir dalam durasi. Durasi sendiri dipahami sebagai waktu dalam bergerak berkelanjutan (continuous flow) dan bukan waktu yang terspesialisasi oleh rasio menjadi momen-momen atau titik-titik dalam garis. Rasio hanya mampu memahami bagian-bagian statis dan tidak mampu menangkap pergerakan terus-menerus (durasi).
Elan Vital merupakan suatu kesadaran dari mana tumbuh kehidupan dan semua kemungkinan kreatifnya. Evolusi bersifat kreatif dan tidak deterministik seperti dikemukakan Darwin dan Marx karena masa depan bersifat terbuka. Bergson menolak, berdasarkan argumen élan vitalnya, adanya tujuan final yang ditetapkan di depan.
Henry Bergson (1859-1941) merupakan tokoh yang bisa dibilang paling berpengaruh terhadap pemikiran Iqbal, khususnya tentang intuisi dan élan vital. Bergson mengemukakan adanya dua cara pengenalan yaitu analisis dan intuisi. Analisis adalah aktivitas intelektual yang mengenali objek dengan observasi bergerak mengitari objek atau dengan memisahkan bagian-bagian konstituen objek kajiannya. Analisis bekerja dengan simbol-simbol tersebut selalu berupa generalisasi abstrak yang melenyapkan keunikan individu
Intuisi, di lain pihak, menurut Bergson merupakan semacam rasio simpati yang mana subjek peneliti menempatkan dirinya dalam objeknya untuk menemukan apa yang unik dalamnya dan oleh karenanya tidak dapat diekspresikan. Berpikir secara intuitif adalah berpikir dalam durasi. Durasi sendiri dipahami sebagai waktu dalam bergerak berkelanjutan (continuous flow) dan bukan waktu yang terspesialisasi oleh rasio menjadi momen-momen atau titik-titik dalam garis. Rasio hanya mampu memahami bagian-bagian statis dan tidak mampu menangkap pergerakan terus-menerus (durasi).
Elan Vital merupakan suatu kesadaran dari mana tumbuh kehidupan dan semua kemungkinan kreatifnya. Evolusi bersifat kreatif dan tidak deterministik seperti dikemukakan Darwin dan Marx karena masa depan bersifat terbuka. Bergson menolak, berdasarkan argumen élan vitalnya, adanya tujuan final yang ditetapkan di depan.
A. Filsafat Ego atau Khudi
Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi berjudul Asrar-i Khudi; kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Relegious Thought in Islam.
Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-i Khudi.
Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal, dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Masalah ini dibahas dalam karyanya yang ditulis dalam bahasa Persia dengan bentuk matsnawi berjudul Asrar-i Khudi; kemudian dikembangkan dalam berbagai puisi dan dalam kumpulan ceramah yang kemudian dibukukan dengan judul The Reconstruction of Relegious Thought in Islam.
Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, merupakan suatu iradah kreatif yang terarah secara rasional. Arti terarah secara rasional, menjelaskan bahwa hidup bukanlah suatu arus tak terbentuk, melainkan suatu prinsip kesatuan yang bersifat mengatur, suatu kegiatan sintesis yang melingkupi serta memusatkan kecenderungan-kecenderungan yang bercerai-berai dari organisme yang hidup ke arah suatu tujuan konstruktif. Iqbal menerangkan bahwa khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan kehidupan. Hal ini tercantum pada beberapa matsnawinya dalam Asrar-i Khudi.
Bentuk kejadian ialah akibat dari khudi
Apa saja yang kaulihat ialah rahasia khudi
Dijelmakannya alam cita dan pikian murni
Apa guna wujudmu melainkan untuk mengembangkan dayamu?
Kalau kau perkuat dirimu dengan khudi
Kau akan pecahkan dunia sesuka khudimu;
Jika kau hendak hidup, isilah dirimu dengan khudi
Apakah mati sebenarnya? Melepaskan semua khudi
Kenapa berkhayal itulah terpisahnya roh dari tubuh
Bermukimlah dalam khudi, penaka Yusuf
Majulah dari rebutan yang satu ke rebutan yang lain
Pikirkanlah khudimu dan jadilah beraksi
Jadilah manusia-Tuhan, kandunglah rahasia dalammu.
Ego bagi Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas. Ia mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan Ego mutlak. Sementara itu, aliran kausalitas dari alam mengalir ke dalam ego dan dari ego ke alam. Karena itu, ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Dalam keadaan inilah Ego Mutlak membiarkan munculnya ego relatif yang sanggup berprakarsa sendiri dan membatasi kebebasan ini atas kemauan bebasnya sendiri. Menurut Iqbal, nasib sesuatu tidak ditentukan oleh sesuatu yang bekerja di luar. Takdir adalah pencapaian batin oleh sesuatu, yaitu kemungkinan-kemungkinan yang dapat direalisasikan yang terletak pada kedalaman sifatnya.
Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertarikan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap individu mesti menjalani tiga tahap. Pertama, setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum ilahiah. Kedua, belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia. Ketiga, menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).
B. Filsafat Ketuhanan
Tuhan sebagai objek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua objek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indra, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak ditangkap indra.
Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, maka teologi wahyu sebagai titik awal pembahasannya.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggarisbawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontigen tidak dapat dipahami akal.
Paling tidak, terdapat tiga argumen besar dalam filsafat ketuhanan: argumen kosmologis, argumen teologis, dan argumen ontologis. Argumen kosmologis mengemukakan bahwa Tuhan harus ada, karena kalau tidak maka akan ada rangkaian kausalitas yang tak terhingga untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Argumen teologis mengemukakan bahwa dari struktur finalitas realitas dapat ditariik kesimpulan adanya Sang Pencipta yang menetapkan struktur tersebut. Sedangkan argumen ontologis mengemukakan bahwa Tuhan ada karena kita memikirkannya dan memprediksikan eksistensi terhadap Dirinya.
Iqbal secara tegas menolak argumen-argumen para filosof skolastik tersebut. Baginya argumen-argumen ini telah menemui kegagalan. Di samping tampak sebagai suatu interpretasi pengalaman yang dibuat-dibuat, menurutnya argumen-argumen itu mengundang pula kesesatan logis. Iqbal mengungkapkan bahwa di antara penyebab kegagalan argumen-argumen ini adalah karena dipaksakannya dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara pikiran dan wujud (being). Padahal dalam argumen-argumen itu sendiri sesungguhnya telah tersirat bahwa pikiran dan wujud pada akhirnya merupakan satu kesatuan.
Iqbal sepakat dengan Kant bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat Tuhan. Namun keterbatasan rasio tidak menjadikan Iqbal seorang skeptis seperti Kant, ia tetap meyakini bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman relegius. Dalam hal ini konsep intuisi Iqbal berbeda dengan konsep intuisi kaum mistikus. Apabila kaum mistikus menekankan kontak langsung dengan Tuhan lewat proses intuisi, Iqbal menolaknya dengan mengatakan bahwa apa yang pertama-pertama tersingkap secara kuat lewat intuisi adalah keberadaan ego atau diri yang kreatif dan bebas.
Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri yang bebas-kreatif.
Metafisika gerak Iqbal mengemukakan bahwa manusia bukanlah benda statis tetapi suatu aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan kesempurnaan. Hidup keberagamaan sendiri menurut Iqbal adalah suatu proses evolusi yang dapat dibagi menjadi tiga tahap, iman, pemikiran dan penemuan. Pada tahap pertama yaitu tahap iman kita menerima apa yang difirmankan Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. Pendeknya segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah mutlak benar karena berasal dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia. Pada tahap kedua yaitu tahap pemikiran. Kita tidak sekadar menaati secara buta firman Tuhan melainkan mulai memikirkan maksud dari firman tersebut atau singkatnya kita mencoba memahami secara rasional apa yang kita percayai. Dan pada tahap terakhir yaitu tahap penemuan kita mencapai kontak langsung dengan realitas ultim yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan.
Menurut Iqbal agama bukan sekadar sekumpulan ajaran untuk menekan aktivitas nafsu instingtif manusia (agama sebagai instrumen moral) seperti diklaim para psikoanalisis (Freud, Jung). Bagi Iqbal, agama lebih dari sekadar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral. Fungsi sesungguhnya adalah mendorong proses evolusi ego manusia di mana etika dan pengendalian diri menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan ego manusia yang selalu mendampakan kesempurnaan. Dengan kata lain, agama justru mengintegrasikan kembali kekuatan-kekuatan pribadi seseorang.
Kesimpulan
Pena lebih tajam dari pedang. Tak diragukan lagi pengaruh pena Iqbal dalam khazanah pemikiran Islam luar biasa besarnya. Tak hanya dunia Timur-Islam, tetapi juga Timur-non Islam dan Barat. Kejeniusannya dalam memadukan syair dan filsafat ditambah lagi sikap relegiusnya yang mendalam telah menimbulkan decak kagum para filosof dan penyair di pelbagai belahan dunia. Tak hanya itu, Iqbal juga telah melakukan sintesis pemikiran Timur dan Barat dengan kekhasan yang belum ada bandingnya.
Tanggapannya terhadap pemikiran Barat mengajarkan umat Islam untuk tidak berapologi atau mencaci maki setiap bersentuhan dengan khazanah Barat. Sikap yang baik adalah memanfaatkan apa-apa yang baik dari khazanah Barat untuk merekonstruksi Islam dan kemajuannya. Terbukti Iqbal banyak terpengaruh para filosof Barat seperti Nitzsche atau Henry Bergson. Walaupun Iqbal sebagian menolak konsep mereka tentang moralitas, juga tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan.
Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertarikan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap individu mesti menjalani tiga tahap. Pertama, setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum ilahiah. Kedua, belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinya melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia. Ketiga, menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).
B. Filsafat Ketuhanan
Tuhan sebagai objek kajian metafisika memiliki kekhususan dibanding kedua objek metafisika lainnya. Apabila manifestasi lahiriah dari semesta maupun jiwa dapat ditangkap indra, maka hal yang sama tidak berlaku bagi realitas ketuhanan. Tuhan adalah suatu yang mutlak tidak ditangkap indra.
Metafisika yang mengkaji tentang Tuhan disebut filsafat ketuhanan (teologi naturalis) untuk membedakannya dari teologi adikodrati atau teologi wahyu. Apabila filsafat ketuhanan mengambil Tuhan sebagai titik akhir atau kesimpulan seluruh pengkajiannya, maka teologi wahyu sebagai titik awal pembahasannya.
Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan tidak mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggarisbawahi bahwa apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda yang relatif-kontigen tidak dapat dipahami akal.
Paling tidak, terdapat tiga argumen besar dalam filsafat ketuhanan: argumen kosmologis, argumen teologis, dan argumen ontologis. Argumen kosmologis mengemukakan bahwa Tuhan harus ada, karena kalau tidak maka akan ada rangkaian kausalitas yang tak terhingga untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Argumen teologis mengemukakan bahwa dari struktur finalitas realitas dapat ditariik kesimpulan adanya Sang Pencipta yang menetapkan struktur tersebut. Sedangkan argumen ontologis mengemukakan bahwa Tuhan ada karena kita memikirkannya dan memprediksikan eksistensi terhadap Dirinya.
Iqbal secara tegas menolak argumen-argumen para filosof skolastik tersebut. Baginya argumen-argumen ini telah menemui kegagalan. Di samping tampak sebagai suatu interpretasi pengalaman yang dibuat-dibuat, menurutnya argumen-argumen itu mengundang pula kesesatan logis. Iqbal mengungkapkan bahwa di antara penyebab kegagalan argumen-argumen ini adalah karena dipaksakannya dualisme epistemologis, yaitu pemisahan antara pikiran dan wujud (being). Padahal dalam argumen-argumen itu sendiri sesungguhnya telah tersirat bahwa pikiran dan wujud pada akhirnya merupakan satu kesatuan.
Iqbal sepakat dengan Kant bahwa rasio manusia memiliki keterbatasan dalam mengetahui hakikat Tuhan. Namun keterbatasan rasio tidak menjadikan Iqbal seorang skeptis seperti Kant, ia tetap meyakini bahwa manusia mampu memperoleh pengetahuan tentang Tuhan secara langsung melalui proses intuisi dalam pengalaman relegius. Dalam hal ini konsep intuisi Iqbal berbeda dengan konsep intuisi kaum mistikus. Apabila kaum mistikus menekankan kontak langsung dengan Tuhan lewat proses intuisi, Iqbal menolaknya dengan mengatakan bahwa apa yang pertama-pertama tersingkap secara kuat lewat intuisi adalah keberadaan ego atau diri yang kreatif dan bebas.
Filsafat ketuhanan Iqbal berbeda dengan filsafat ketuhanan kontemplatif karena Iqbal berangkat dari filsafat manusia yang menekankan pengetahuan langsung tentang keberadaan ego atau diri yang bebas-kreatif.
Metafisika gerak Iqbal mengemukakan bahwa manusia bukanlah benda statis tetapi suatu aktivitas gerak dinamis-kreatif yang terus merindu akan kesempurnaan. Hidup keberagamaan sendiri menurut Iqbal adalah suatu proses evolusi yang dapat dibagi menjadi tiga tahap, iman, pemikiran dan penemuan. Pada tahap pertama yaitu tahap iman kita menerima apa yang difirmankan Tuhan tanpa keraguan sedikitpun. Pendeknya segala sesuatu yang berasal dari Tuhan adalah mutlak benar karena berasal dari Tuhan dan bukan konstruksi manusia. Pada tahap kedua yaitu tahap pemikiran. Kita tidak sekadar menaati secara buta firman Tuhan melainkan mulai memikirkan maksud dari firman tersebut atau singkatnya kita mencoba memahami secara rasional apa yang kita percayai. Dan pada tahap terakhir yaitu tahap penemuan kita mencapai kontak langsung dengan realitas ultim yang merupakan sumber semua hukum dan kenyataan.
Menurut Iqbal agama bukan sekadar sekumpulan ajaran untuk menekan aktivitas nafsu instingtif manusia (agama sebagai instrumen moral) seperti diklaim para psikoanalisis (Freud, Jung). Bagi Iqbal, agama lebih dari sekadar etika yang berfungsi membuat orang terkendali secara moral. Fungsi sesungguhnya adalah mendorong proses evolusi ego manusia di mana etika dan pengendalian diri menurut Iqbal hanyalah tahap awal dari keseluruhan perkembangan ego manusia yang selalu mendampakan kesempurnaan. Dengan kata lain, agama justru mengintegrasikan kembali kekuatan-kekuatan pribadi seseorang.
Kesimpulan
Pena lebih tajam dari pedang. Tak diragukan lagi pengaruh pena Iqbal dalam khazanah pemikiran Islam luar biasa besarnya. Tak hanya dunia Timur-Islam, tetapi juga Timur-non Islam dan Barat. Kejeniusannya dalam memadukan syair dan filsafat ditambah lagi sikap relegiusnya yang mendalam telah menimbulkan decak kagum para filosof dan penyair di pelbagai belahan dunia. Tak hanya itu, Iqbal juga telah melakukan sintesis pemikiran Timur dan Barat dengan kekhasan yang belum ada bandingnya.
Tanggapannya terhadap pemikiran Barat mengajarkan umat Islam untuk tidak berapologi atau mencaci maki setiap bersentuhan dengan khazanah Barat. Sikap yang baik adalah memanfaatkan apa-apa yang baik dari khazanah Barat untuk merekonstruksi Islam dan kemajuannya. Terbukti Iqbal banyak terpengaruh para filosof Barat seperti Nitzsche atau Henry Bergson. Walaupun Iqbal sebagian menolak konsep mereka tentang moralitas, juga tentang kehendak sebagai sesuatu yang buta, khaotis, tanpa tujuan.
0 comments :
Posting Komentar